Gumaman Sang Pemimpi

22.18 0 Comments

Saat itu masih pagi, Dinginnya udara merayap melewati pori-pori baju yang aku kenakan, orang yang aku temukanpun berbuat sama seperti aku lakukan, hanya beberapa diantaranya yang berani tanpa mengenakan jaket. Namun tetap, walau aku telah membalut tubuhku dengan jaket tebal, tapi gelitik dinginnya udara tetap merasuk, menyusuri seluruh tubuhku.

Walau cuaca disekeliling tempat tinggalku dalam kondisi demikian, namun tak mampu menghentikan aktivitas warganya. Segerombolan ibu-ibu bahkan lagi asyik berdiskusi di salah satu warung dipojok kampungku. Walau tanpa judul, namun kelihatannya hangat, ada yang menimpali ada yang menyatakan kesamaan ada yang menyatakan persetujuan atau pula yang menolak sebagai tanda tak sepakat.

Mereka membicarakan tentang harga-harga yang terus bergerak naik setiap hari, pendidikan yang mahal, informasi kejahatan yang semakin terbuka, tindakan asusila yang marak di mana-mana, sementara penghidupan dan kualitas kehidupan yang semakin tak berkualitas.

Pada kesempatan ini mari kita bahas masalah mereka, walau hanya sedikit permasalahannya. Ada hal yang menarik dari diskusi mereka yang perlu kita ranungi! kita mencoba mengulas pergerakan harga.

Bukankah kenaikan harga ini menjadi berkah tersendiri bagi si produsen? Yang menjadi masalah adalah dari berbagai komponen kehidupan yang kita butuhkan beberapa persen yang mampu kita penuhi sendiri? Apakah semua itu produk orang lain? Atau semuanya produk kita? Atau ....

Apakah yang kita makan hari ini merupakan produk kita? Misalkan, padi yang kita masak? Bumbu yang kita gunakan? Tempe, ikan, telur, daging, sayuran dan buah-buahan? Apakah air air dalam kemasan yang kita konsumsi juga merupakan karaya kita? Atau hasil ssebuah proses orang lain? Susu, teh, sari jahe, sari jeruk atau jenis minuman lainnya?

Apakah jenis pakaian yang kita kenakan merupakan karya kita? kalau kita mengatakan mustahil kita membuat kain untuk itu, apakah baju yang kita pakai hasil jahitan kita? celana dalam, baju dalam, kaos kaki, alas kaki, tutup kepala dan sarung apakah kita yang membuat? Atau paling tidak apakah dalam rantai produksinya/distribusi melewati tangan kita? Atau melulu hanya melewati tangan - tangan orang yang tak pernah kita tahu ketauhidannya?

Kadang kita bangga dengan sebuah produk dan rela memberikan untung yang kita anggap kecil karena harga barangnya beberapa puluh rupiah saja, seperti bumbu masak. kalau saja dari satu sachet memberikan keuntungan Rp.50,-, maka tatkala terjual i juta sachet perhari berarti sebulan teraup keuntungan 1,5 miliar. kalau saja apa yang dibicarakan di atas merupakan salahsatu produk kita, tentunya sudah sangat membanggakan. Tetapi jika produk tersebut merupakan produk dari orang yang ideologinya tidak jelas atau bahkan bersebrangan maka tentunya akan menjadi malapetaka buat kita.


Tidak sedikit dari semacam produk tersebut terindikasi kehalalannya tidak jelas, mengandung unsur yang membahayakan kesehatan. Atau sangat mungkin dari keuntungan yang diperolehnya digunakan untuk membiayai penyebaran ideologi yang mereka anut bahkan digunakan untuk menghancurkan kaum muslimin.

yang menjadi permasalahan disini bukan berarti kita tidak mau bermuamalah dengan mereka, tetapi jika muamalah yang kita lakukan ternyata membahayakan dien yang kita yakini.

Sebenarnya banyak manfaat lain yang bisa kita peroleh kalau saja kita membuat upaya pemenuhan kebutuhan kita sendiri.

Pertama, akan terbentuk kekuatan ekonomi yang menguatkan tegaknya dien yang kita anut. Rantai ekonomi mulai dari pasokan bahan baku, Proses produksi dan distribusi yang berputar dalam lingkungan umat akan memberikan penguatan ekonomi individu umat. Penguatan ekonomi individu ini akan mendorong peningkatan pendapatan ekonomi kolektif karena tiap individu memiliki kewajiban Zakat, Infaq dan Shadaqoh.Peningkatan pendapatan ekonomi kolektif ini akan meningkatkan kemampuan proses pembangunan dien dalam berupa dana da'wah, pengentasan kemiskinan , penanggulangan dhuafa, pembiayaan ekonomi produktif dll.

Kedua, ada keterjaminan halalan toyiban dari produk yang kita makan. sebab sudah barang tentu jika seorang muslim yang memproduksinya maka quality control yang dilakukannya selain mengutamakan kualitas juga akan berbasis pada standar syariat. Kita menyadari bahwa apa yang menjadi asupan pada tubuh kita harus berprinsip halalan toyyiban.

ketiga, kekutan kafirin sedikit demi sedikit akan terkikis, sebab berbagai potensi tenaga kerja muslim terhebat yang tadinya dapat mereka manfaatkan akan beralih menjadi kekuatan muslim. potensi pasar potensial akan terambil, karena jumlah populasi terbesar kali ini adalah muslim dan mereka sasaran pasar yang sangat potensial. Belum lagi dari pengurangan dana yang biasa mereka terima dan digunakan untuk memerangi umat islam.

Yang jadi pertanyaan kali ini adalah, apa ada yang mau menyusun kekuatan ekonomi untuk tegaknya Dienullah? kapan akan kita lakukan penataan ekonomi tersebut? Atau kita tidak perlu berharap unutk hal itu? Dan kita biarkan menjadi mimpi selamanya?

Memamng ekonomi hanya sebagian dari sebuah sistem, kuat dan lemahnya beserta sistem itu. Sementara keberpihakan terhadap sistem ekonomi itu. Sistem ekonomi manapun apakah Sosialis, atau Kapitalis? punya kekuatan lantaran para penguasa atau pemegang kebijakan meyakini dan memberlakukan sistem tersebut.

Sebagai sebuah ilustrasi sejarah, kita ingat di era Adi sasono menjabat menteri, beliau berani memberlakukan ekonomi kerakyatan, Maka tatkala itu berbagai belahan secara serentak memberlakukan ekonomi kerakyatan, dengan prinsip enablement (pemampuan) dan enpowerment (pemberdayaan. Namun kali ini setelah rejim itu lengser ekonomi kerakyatan itu enghilang gerakan mauapun semangatnya, bahakan sekedar isu pun tak terdengar lagi.

Adakah kemudian hari-hari mendatang akan lahir rejim yang memberlakukan sistem ekonomi islam? semoga lahir dan tidak hanya dalam hitungan waktu sementara!

Kita berharap akan tampil pemimpin yang seperi Rasul dan sahabatnya, memegang kekuasaaan untuk menjadi pelayan umat, memilih cara hidup sederhana bahkan kategori miskin demi kesejahteraaan rakyatnya. Siapakah hari ini yang berani mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli serta menyuburkan shadaqoh, untuk menjamin kemakmuran rakyatnya. Adakah yang berani menghukum berat bagi setiap pencuri hingga terjamin harta rakyatnya? Ataukah ada konglomerat seperti Abdurahman bin Auf dikala pulang niaga membagikan keuntungannya 1/3 diinfaqkandijalan Allah, 1/3 shadaqoh untuk fakir miskin, 1/3 dipinjamkan untuk bina ekonomi umat, dan beliau sendiri jarang mau pegang harta karena saking takutnya masuk syurga dalam keadaan merangkak.

Baiklah jika kita tidak bisa berharap pada orang lain alangkah baik dan mulianya jika kita mengusahakan sesuatu upaya yang akan menjadikan hidup kita lebih berkah dengan saling membantu diantara kita. Andak kesatuan aqidah ini dikembangkan sedikit untuk menjiwai muamalah kita tentu kita akan berfikir bagaimana kita dapat meraih manfaat dengan cara memberi untung untuk saudara kita sendiri. Demi suburnya silaturahmi diantara umat kenapa harus keberatan berbelanja kepada saudara sendiri karena alasan agak jauh atau mungkin sedikit lebih mahal, padahal disinilah taawun kita teruji. Sebenarnya semnagat taawun bukanlah kontra produktif atas profeionalisme jual beli, disini lebih memberikan ruang agar setiap umat maju jauh dari istilah persaingan yang membawa pada arah saling berebut kesempatan sehingga saling menjatuhkan. Taawun tidak berarti melegalisir produk jelek atau memfasilitasi pihak yang mau merugikan orang lain, tapi merupakan kebersamaan yang tidak setengah hati untuk membangun kemajuan bersama. Umat terbaik bukanlah yang paling pintar mendapatkan untung melainkan orang yang banyak memberi manfaat bagi orang lain. Bukan pula yang tertinggi derajatnya itu orang yang paling sukses pribadinya melainkan orang yang mampu memajukan orang lain.

Kepedulian sosial kita dipertanyakan karena memang sebenarnya kita memiliki potensi besar untuk melakukan banyak hal termasuk menyelamatkan muamalah umat, dan sangat mungkin dan mampu untuk merealisasikan moto : Dari Umat, Oleh Umat, dan Untuk Umat.



Wallahua'lam bishshawab.

Unknown

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar:

kami tunggu komentar, saran dan kritik anda untuk kemajuan blog kami supaya lebih baik lagi